BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Realitas
sosial terbentuknya sebuah masyarakat adalah konsekuensi lanjutan dari
terbentuknya komunitas. Artinya adanya masyarakat hukum yang kemudian membentuk
batas-batas wilayah hukum berasal mulai dari eksisnya sebuah komunitas sosial
sebelumnya yang dalam kekinian disebut sebagai masyarakat adat.
Aspek terpenting yang harus diketahui dan disadari oleh pihak-pihak yang ingin memahami permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adalah kenyataan tentang keragaman mereka. Keragaman ini dapat dilihat dari segi budaya, agama dan atau kepercayaan, serta organisasi ekonomi dan sosial. Di Indonesia, kita seharusnya merasa beruntung dengan adanya masyarakat-masyarakat adat yang barangkali berjumlah ribuan kelompok. Keberadaan mereka merupakan suatu kekayaan bangsa karena artinya ada lebih dari seribu ragam ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan. Ada lebih dari seribu bahasa yang telah dimanfaatkan dan dapat membantu pengembangan khasanah bahasa Indonesia dan masih banyak lagi hal lain yang bisa mereka sumbangkan. Kepemimpinan (Leadership) merupakan sebuah fenomena yang multi kompleks. Didalamnya tidak hanya mengandung unsur dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya tetapi juga mencakup dimensi pyskologis yang menempatkan faktor pengelolaan emosi pada posisi yang cukup stategis.
Aspek terpenting yang harus diketahui dan disadari oleh pihak-pihak yang ingin memahami permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adalah kenyataan tentang keragaman mereka. Keragaman ini dapat dilihat dari segi budaya, agama dan atau kepercayaan, serta organisasi ekonomi dan sosial. Di Indonesia, kita seharusnya merasa beruntung dengan adanya masyarakat-masyarakat adat yang barangkali berjumlah ribuan kelompok. Keberadaan mereka merupakan suatu kekayaan bangsa karena artinya ada lebih dari seribu ragam ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan. Ada lebih dari seribu bahasa yang telah dimanfaatkan dan dapat membantu pengembangan khasanah bahasa Indonesia dan masih banyak lagi hal lain yang bisa mereka sumbangkan. Kepemimpinan (Leadership) merupakan sebuah fenomena yang multi kompleks. Didalamnya tidak hanya mengandung unsur dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya tetapi juga mencakup dimensi pyskologis yang menempatkan faktor pengelolaan emosi pada posisi yang cukup stategis.
Kepemimpinan
adalah sebuah realitas sosial politik yang telah ada semenjak peradaban manusia
terbentuk. Dalam konteks yang paling sederhana, kepemimpinanan mulai terbentuk
ketika peradaban manusia mulai mengenal kehidupan berkelompok, walaupun dalam
jumlah yang sangat terbatas untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Dalam
konteks kehidupan moderen, makna kepemimpinan mempunyai arti yang semakin luas
dengan aplikasi yang semakin melebar mengikuti dinamika kehidupan di
masyarakat. Ada kepemimpinan yang bersifat formal dan informal. Kepemimpinan
dalam rumah tangga sampai ke masalah Negara. Pendek kata, paradigma
kepemimpinan lambat laun telah menjadi sebuah komoditi sosial, politik dan
ekonomi yang bernilai tinggi. Oleh sebab itu, dalam konteks transparansi,
demokratisasi dan persaingan yang semakin terbuka lebar, maka kapasitas
kemampuan (ability) dan kecakapan (capability) memimpin, menjadi
tolak ukur utama agar seseorang dapat meraih kesuksesan. Kemampuan dan
kecakapan, tidak hanya mencakup kapasitas intelektual saja tetap mencakup pula
kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar (kemasyarakatan) sehingga
seseorang dapat melihat hambatan sebagai sebuah tantangan dan tantangan sebagai
sebuah peluang (opportunity). Kehidupan moderen yang multi komplek dan
multi kultur seperti sekarang ini, telah mendorong setiap pemimpin untuk lebih
perduli dan memberikan perhatian khsusus pada masalah-masalah yang berkaitan
dengan kehidupan sosial kemasyarakatan, dalam upaya untuk menunjang dan
mendorong kesuksesan karir seorang pemimpin. Seorang pemimpin dituntut untuk
lebih mampu beradaptasi, berinteraksi secara positif dan konstruktif sehingga
kapasitas dan kapabilitasnya dapat diberdayakan secara maksimal dann multi
guna.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Apakah yang dimaksud
dengan aktivitas sosial dan apakah antara aktivitas sosial, pengorganisasian
dan kepemimpinan itu berkaitan atau berhubungan satu sama lain
1.3
TUJUAN
Tujuan dari makalah ini
adalah untuk mengetahui tentang aktivitas sosial dan hubungan antara aktivitas
sosial dengan kepemimpinan dan pengorganisasian
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
PENGORGANISASIAN KOMUNITAS
Pengorganisasian
komunitas adalah pengembangan komunitas yang menekankan pada pembangunan
kesadaran kritis anggotanya dan penggalian potensi komunitas sehingga dapat
muncul suatu organisasi yang mampu menjangkau seluruh lapisan komunitas. Organisasi
tersebut memiliki tujuan penguatan anggotanya, peningkatan kualitas hidup
anggotanya , dan pembangunan organisasi yang memiliki karakter solidaritas yang
kuat, partisipatif, responsif, kritis, sistematis dan berkelanjutan . Pengorganisasian
komunitas juga mendorong keterlibatan komunitas untuk melakukan perubahan
sosial di bidang politik, ekonomi, dan budaya yang selama ini menindas dan
menghisap kehidupan mereka.
PENGERTIAN KOMUNITAS
Soedjono Dirdjosisworo (1985) menyebut komunity
sebagai masyarakat setempat, artinya kelompok sosial yang memenuhi kriterianya,
yaitu terjalin hubungan timbal balik dalam pergaulan hidup di mana mereka
mengadakan interaksi, interelasi dan komunikasi sosial. Pengertian ini kemudian
dirumuskan bahwa masyarakat setempat adalah suatu wadah dan wilayah kehidupan
kelompok yang ditandai adanya hubungan sosial dalam derajat tertentu yang dilengkapi
dengan batas-batas tempat tinggal dan perasaan sosial yang tumbuh di dalamnya yang
menumbuhkan nilai-nilai, norma-norma yang ditentukan oleh kehidupan pergaulan masyarakat
itu. Soerjono Soekanto (1983) menjelaskan bahwa realita sosial bersifat statis
atau kenyataan yang membeku, sehingga dapat dilihat tatanan dari berbagai
bagian tubuhnya yang berbentuk struktur.
Dalam kehidupan masyarakat dalam pengertian komunitas
terdapat ikatan solidaritas antar individu. Ikatan solidaritas ini biasanya
ditentukan oleh kesamaan-kesamaan tertentu, seperti asal daerah yang mencakup
kesamaan dalam hal perasaan, adat istiadat, bahasa, norma-norma sosial, dan
cara-cara hidup bersama pada umumnya. Komunitas dapat juga disebut sebagai kelompok
primer, yaitu kehidupan masyarakat atau kelompok sosial, di mana hubungan
antara anggotanya bersifat langsung (face to face) dan sangat dekat, erat dan
intim. Komunitas mempunyai ciri khusus yang merupakan garis tengah antara sudut
pandang statis dan sudut pandang dinamis. Meskipun pada sudut pandang yang
dinamis dapat disebut sebagai masyarakat kepentingan, akan tetapi ia bukan
merupakan terjemahan letter lux dari pada pengertian
sentiment, melainkan ia juga dibatasi oleh unsur waktu dan lokasi (tempat).
Hasan Sadilly menyatakan bahwa syarat yang masih bisa dipertahankan sebagai
ciri community adalah "...kemutlakan kebutuhan hidupnya, dimana
anggota-anggotnya hanya mencari kepuasan tertentu saja berdasarkan adat
kebiasaan dan sentiment (faktor primer), kemudian diikuti atau diperkuat pula
oleh faktor lokalitas (faktor sekunder).
Sesuai dengan konsep sosiologis yang menyatakan bahwa manusia itu tidak
hidup sendiri, maka syarat mutlak bagi manusia dalam hidupnya adalah sebagai
makhluk sosial. Manusia baru bisa berarti dalam hidupnya kalau ia bukan sekedar
oknum atau sebagai human being belaka, yaitu bukan sekedar dalam arti biologis,
tetapi dapat berfungsi sebagai manusia yang mampu hidup bermasyarakat dan
berkebudayaan. Manusia dalam hidupnya sangat tergantung pada keberadaan orang
lain, dengan harapan dapat memperkuat langkah perjuangan hidupnya antar sesama
anggota yang memiliki nasib yang relatif sama. Cara berpikir komunitas semacam ini
pada umumnya cenderung bertindak secara suka rela, dan pasrah pada kenyataan
yang hadir dalam kehidupan bersama mereka. Kehidupan komunitas dalam pengertian
primer group pada umumnya kurang mampu menolak nasib, pandangan terhadap
tradisi relatif lebih kuat, terutama pada golongan oran-orang yang telah
berumur, sehingga relatif sulit pula untuk menerima ide-ide baru dan perubahan.
Kenyataan ini merupakan bagian penyebab mengapa komunitas sulit diarahkan
kepada pemikiran yang lebih ekonomis dan rasional. Begitupun mengenai alat
komunikasi, masih tergolong tradisional. Biasanya komunikasi didasarkan pada
berita-berita yang menyebar dari mulut ke telinga, yang pada umumnya kurang
terjamin kebenarannya.
PRINSIP – PRINSIP
PENGORGANISASIAN KOMUNITAS
Prinsip – prinsip
pengorganisasian adalah pandangan dan sikap organizer yang dijadikan pijakan
dalam melihat realitas komunitas dan bagaimana dia bekerja untuk menghadapinya.
• Pengorganisasian Terpadu
Pengorganisasian harus
memperhatikan segi sosial, politik, ekonomi, budaya dan lingkungan sebagai
bagian integral komunitas. Setiap aktivitas pengorganisasian harus
memperhatikan keseluruhan hal itu secara integral
•
Solidaritas
Pengorganisasian
komunitas senantiasa menumbuhkan semangat solidaritas dalam komunitas.
•
Pemberdayaan
Seorang organizer perlu
menyadari struktur penindasan dalam masyarakat dan komunitas yang terbentuk
dari ketimpangan relasi kekuasaan, ekonomi, gender, ras, agama, etnis,
pengetahuan, teknologi, bahasa, status sosial, dll . Dia juga harus mengenali
karakter pribadinya yang juga terbentuk dalam struktur sosial seperti itu .
Pemberdayaan pada
hakikatnya bermakna membebaskan komunitas dari penindasan struktural .
•
Hak Asasi Manusia
Aktivitas
pengorganisasian haruslah dilandasi hak- hak asasi manusia yang terdiri dari
hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, hak anak, hak masyarakat adat dan hak
perempuan.
•
Kemandirian
Mengoptimalkan sumber
daya komunitas dalam segala aktivitas pengorganisasian dilakukan sehingga
tercapai budaya kemandirian.
•
Berkelanjutan
Pengorganisasian
haruslah berdasarkan prinsip berkelanjutan dan berperspektif jangka panjang.
•
Partisipasi
Pengorganisasian
haruslah senantiasa berupaya mengoptimalkan partisipasi anggota komunitas.
•
Tanpa Kekerasan
Pengorganisasian
berjalanan dalam kerangka aksi tanpa kekerasan, bukan hanya kekerasan fisik,
tetapi kekerasan karena ketimpangan relasi kekuasaan.
•
Musyawarah dan Konsensus
Setiap aktivitas
pengorganisasian komunitas haruslah berangkat dari proses pembangunan konsensus
bersama melalui musyawarah
2.2
PENGERTIAN KEPEMIMPINAN
Keberhasilan
maupun kegagalan dari suatu organisasi, apakah perusahaan, lembaga pemerintah,
rumah sakit, ataupun organisasi sosial lainnya, akan selalu dikaitkan dengan
pemimpin dari organisasi dimaksud. Dengan kata lain, kepemimpinan merupakan
unsur kunci dalam menentukan efektivitas maupun tingkat produktifitas suatu
organisasi. Banyak definisi kepemimpinan yang dikemukakan para ahli, beberapa
diantarnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.
Ordway Tead (dalam Kartini Kartono, 1994:49) Kepemimpinan adalah kegiatan
mempengaruhi orang-orang agar mereka mau bekerja sama untuk mencapai tujuan
yang diinginkan.
2.
George R. Terry (dalam Kartini Kartono, 1994:49) Kepemimpinan adalah kegiatan
mempengaruhi orang-orang agar mereka suka berusaha mencapai tujuan-tujuan
kelompok.
3.
K. Hemphill (dalam M. Thoha, 1996:227) Kepemimpinan adalah suatu inisiatif
untuk bertidak yang menghasilkan suatu pola yang konsisten dalam rangka mencari
jalan pemecahan dari suatu persoalan bersama.
4.
Prof. Kimball Young (dalam Kartini Kartono, 1994:50) Kepemimpinan adalah bentuk
dominasi didasari kemauan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang
lain unuk berbuat sesuatu, berdasarkan akseptasi atau penerimaan oleh
kelompoknya dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi khusus.
Dari
berbagai definisi tersebut, dapat ditarik suatu pengertian bahwa kepemimpinan
merupakan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi, menggeakkan, dan mengarahkan
tingkah laku orang lain atau kelompok untuk mencapai tujuan kelompok dalam
situasi tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut diatas unsur-unsur yang ada
pada kepemimpinan menurut Hadari Nawawi (1995:15) adalah:
1.
Adanya seseorang yang berfungsi memimpin, yang disebut pemimpin.
2.
Adanya oang lain yang dipimpin.
3.
Adanya kegiatan menggerakkan orang lain, yang dilakukan dengan mempengaruhi dan
mengarahkan perasaan, pikiran, dan tingkah lakunya.
4.
Adanya tujuan yang hendak dicapai, baik yang dirumuskan secara sitematis maupun
bersifat sukarela.
5.
Berlangsung berupa proses didalam kelompok atau organisasi, baik besar maupun
kecil, dengan banyak maupun sedikit orang yang dipimpin.
Untuk
dapat mempengaruhi, menggerakkan, dan mengarahkan orang lain, pemimpin
membutuhkan kemampuan dan ketarampilan serta sifat-sifat yang memadai untuk
melaksanakan kegiatnnya. Sehubungan dengan hal tersebut Ordway Tead (dalam
Kartini Kartono, 1994:38) mengemukakan kemampuan dan sifat pemimpin sebagai
berikut:
1.
Energi jasmani dan mental, yaitu
pemimpin mempunyai daya tahan, keuletan, kekuatan atau tenaga yang istimewa.
Demikian juga didukung dengan semangat juang, motivasi kerja, disiplin, dan
kesabaran.
2.
Kesadaran akan tujuan dan arah, yaitu
pemimpin memiliki keyakinan yang teguh akan kebenaran dan kegunaan dari semua
perilaku yang dikerjakan pemimpin tahu persis kemana arah yang akan ditujunya
dan memberi manfaat bagi dirinya dan kelompok.
3. Antusiasme, yaitu pekerjaan yang
dilakukan dan tujuan yang akan dicapai membangkitkan, optimisme, dan semangat
besar pada pribadi pemimpin maupun anggota kelompok.
4.
Keramahan dan kecintaan, yaitu kasih
sayang dan dedikasi pemimpin bisa menjadi tenaga penggerak yang positif untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang menyenangkan bagi semua pihak. Sedangkan
keramahan juga memberikan pengaruh pemimpin dalam mencapai tujuan.
5.
Integritas, yaitu dengan segala
ketulusan hati dan kejujuran, pemimpin memberikan ketauladanan, agar dia patuhi
dan diikuti oleh anggota kelompoknya.
6.
Penguasaan teknis, yaitu pemimpin
harus memiliki satu atau beberapa kemahiran teknis tertentu, agar ia mempunyai
kewibawaan dan kekuasaan untuk memimpin kelompoknya.
7.
Ketegasan dalam mengambil keputusan,
yaitu mengambil keputusan secara tepat, tegas, dan cepat sebagai hasil dari
kearifan dan pengalamannya.
8. Kecerdasan, yaitu kemampuan pemimpin
untu melihat dan mematuhi dengan baik, mengerti sebab dan akibat kejadian,
menemukan hal-hal yang krusial, dan cepat menemukan cara-cara penyelesaiannya
dalam waktu yang singkat.
9.
Keterampilan mengajar, yaitu pemimpin
harus mampu menuntun, mendidik, mengarahkan, mendorong, dan menggerakkan anak
buahnya atau anggotanya untuk berbuat sesuatu.
10. Kepercayaan, yaitu bahwa para anggota
pasti dipimpin dengan baik, dipengaruhi secara positif dan diarhkan pada
sasaran-sasaran yang benar.
Kepemipinan merupakan sebuah gejala
sosial politik yang hampir dapat kita temui dalam
setiap komunitas dan di artikan
dalam berbagai definsi yang relatif berbeda. Dalam
sebuah buku karangan Pamudji,
misalnya pemimpin (leader) mengandung beberapa unsur
pokok, yaitu :
-
Pertama,
kepemimpinan mempunyai nuansa yang mengarah kepada kemampuan individu.
-
Kedua,
kepemimpinan merupakan kualitas hubungan interaksi antara si pemimpin dengan pengikutnya
(yang dipimpinnya) dalam situasi tertentu.
-
Ketiga,
kepemimpinan menggantungkan diri pada sumber-sumber yang ada dalam dirinya
(kemampuan dan kesanggupan) untuk mencapai tujuan.
-
Keempat,
kepemimpinan diarahkan untuk mewujudkan keinginan si pemimpin walaupun akhirnya
juga mengarah pada tujuan organisasi.
-
Kelima,
kepemimpinan lebih bersifat hubungan personal yang terpusat pada diri si
pimpinan, pengikut dan situasi (Pamudji, 1985)
Dilihat dari
jenisnya, konsep kepemimpinan dapat dikatagorikan dalam 2 kelompok besar,
yaitu kepemimpinan formal dan kepemimpinan
informal. Kepemimpinann formal, lebih mengarah pada hal-hal yang bersifat
birokrasi dan berkaitan erat dengan negara maupun pemerintahan. Sedangkan
kepemimpinan informal, lebih mengacu pada adanya pengakuan yang tidak tertulis
dalam suatu komunitas masyarakat, terhadap individu tertentu, berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan/alasan-alasan tertentu pula. Dalam konteks ini,
nilai-niali kharismatik yang baik yang di ukur dari sisi agama, budaya, maupun
sosial ekonomi lebih berperan dominan. Oleh sebab itu, dalam katagori ini pemimpin
tradisional kita sering mendengar istilah pemimpin agama, pemimpin suku ataupun
sebutan lain yang lebih mengarah pada personifikasi individu. Mereka sering
juga disebut sebagai pemimpinan tradisonal.
Dari
beberapa definisi diatas, terlihat bahwa kepemimpinan akan selalu dikaitkan
dengan pembawaan pribadi (personality), kemampuan (ability) dan
kesanggupan (capability) yang mana kesemuanya mengarah pada cirri-ciri
dan sifat-sifat tertentu. Menurut Stephen R. Covey dalam bukunya
“Principle Centered Leadership”, berpendapat bahwa seorang pemimpin harus
mempunyai prinsip-prinsip yang dianggap benar, dalam menentukan arah
kepemimpinannya. Lebih jauh, ia mengatakan ada 8 ciri-ciri pemimpin yang
berprinsip, yaitu :
1.
Mereka terus belajar
Pemimpin yang
berprinsip menganggap hidupnya sebagai proses belajar yang tiada henti untuk mengembangkan
lingkaran pengetahuannya. Di saat yang sama, mereka juga menyadari betapa
lingkaran ketidaktahuan mereka juga membesar. Mereka terus belajar dari
pengalaman. Mereka tidak segan mengikuti pelatihan, mendengarkan orang lain,
bertanya, ingin tahu, meningkatkan ketrampilan dan minat baru.
2.
Mereka berorientasi pada pelayanan
Pemimpin yang
berprinsip melihat kehidupan ini sebagai misi, bukan karir. Ukuran keberhasilan
mereka adalah bagaimana mereka bisa menolong dan melayani orang lain. Inti
kepemimpinan yang berprinsip adalah kesediaan untuk memikul beban orang lain.
Pemimpin yang tidak mau memikul beban orang lain, akan menemui kegagalan. Tidak
cukup memiliki kemampuan intelektual, pemimpin harus mau menerima tanggung jawab
moral, pelayanan dan sumbangsih.
3.
Mereka memancarkan energi positif
Secara fisik,
pemimpin yang berprinsip memiliki air muka yang menyenangkan dan membahagiakan.
Mereka optimis, positif, bergairah, antuasias, penuh harap dan mempercayai.
Mereka memancarkan energi positif yang akan mempengaruhi orangorang sekitarnya.
Dengan energi itu, mereka selalu tampil sebagai juru damai, penengah untuk
menghadapi dan membalikkan energi destruktif menjadi positif.
4.
Mereka mempercayai orang lain
Pempimpin yang
berprinsip mempercayai orang lain. Mereka yakin orang lain mempunyai potensi
yamg tidak tampak. Namun tidak bereaksi secara berlebihan terhadap
kelemahan-kelemahan manusiawi. Mereka tidak merasa hebat saat menemukan
kelemahan orang lain. Ini membuat mereka tidak naïf.
5.
Mereka hidup seimbang
Pemimpin yang
berprinsip bukan ekstrimis. Mereka tidak menerima atau menolak sama sekali.
Mereka sadar dan penuh pertimbangan dalam tindakannya. Ini membuat mereka
seimbang, tidak berlebihan, mampu menguasai diri dan bijak. Sebagai gambaran,
mereka tidak gila kerja, tidak fanatik, tidak menjadi budak rencanarencana. Dengan
demikian mereka jujur pada diri sendiri, mau mengakui kesalahan dan melihat
keberhasilan sebagai sebuah hal yang berdampingan dengan kegagalan.
6.
Mereka melihat hidup sebagai sebuah petualangan
Pemimpin yang
berprinsip, menikmati hidup. Mereka melihat hidup ini selalu sebagai sesuatu
yang baru. Mereka siap menghadapi karena rasa aman mereka datang dalam diri
sendiri, bukan dari luar. Mereka menjadi penuh kehendak, inisiatif, kreatif, berani,
dinamis dan cerdik. Karena berpegang pada prinsip. Mereka tidak mudah dipengaruhi
namun fleksibel dalam menghadapi hampir semua hal. Mereka benarbenar menjalani
kehidupan yang berkelimpahan.
7.
Mereka sinergik
Pemimpin yang berprinsip itu
sinergik. Mereka adalah katalis perubahan. Setiap situasi yang dimasukinya,
selalu diupayakan menjadi lebih baik. Karena itu, mereka selalu produktif dan
menemukan cara-cara baru (kreatif). Dalam bekerja mereka menawatkan pemecahan sinergisik,
pemecahan yang memperbaiki dan memperkaya hasil, bukan sekedar kompromi dimana
masing-masing pihak hanya memberi dan menerima sedikit.
8.
Mereka berlatih untuk memperbaruhi diri.
Pemimpin yang berprinsip secara
teratur melatih empat dimensi kepribadian manusia : fisik, mental, emosi dan
spiritual. Mereka selalu memperbaruhi diri secara bertahap. Dan ini membuat
diri dan karakter mereka kuat, sehat dengan keinginan untuk melayani.
Dari
delapan cirri kepeimpinan yang berprinsip ini, maka pada hakekatnya seorang
pemimpin
harus memilki kriteria-kriteria sbb :
1.
Bisa mengambil keputusan secara tepat, cepat namun tetap rasional.
2.
Bisa memberi “rasa aman” kepada para bawahannya.
3.
Mampu memberikan arahan sebagai pedoman bagi yang lainnya.
4.
Memiliki kemampuan berkomunikasi yang memadai baik secara vertikal maupun
horisontal.
5.
Berpenampilan (performace) baik, termasuk gaya dalam berpenampilan
maupun
berkomunikasi.
2.3 MODEL KEPEMIMPINAN JALUR
Model
Kepemimpinan Jalur Tujuan (path-goal leadhership) meyakini bahwa
pekerjaan pemimpin adalah untuk menciptakan lingkungan kerja melalui struktur,
dukungan dan imbalan yang membantu para pegawai untuk mencapai tujuan
organisasi. Dua peran penting yang diperlukan adalah menciptakan orientasi
tujuan dan meningkatkan jalur untuk mencapai tujuan.
2.4
GAYA DAN POLA KEPEMIMPINAN
Setiap orang
memiliki gaya dan pola yang berbeda dalam menerapkan model kepemimpinan,
tergantung dari bentuk organisasi, tujuan, situasi dan kondisi yang adaserta
karakteristik individual sang pemimpin. Gaya kepemimpinan (leadership style)
sendiri mengacu pada pola tindakan pemimpin secara keseluruhan, seperti yang
dipersepsikan oleh para bawahannya. Gaya kepemimpinan itu sendiri mewakili
filsafat, ketrampilan dan sikap pemimpin. Gaya kepemimpinan itu secara khas
digunakan dalam kombinasi tertentu dan kepemimpinan
terbagi dalam empat katagori, yaitu : Gaya Autokratik, Gaya Partisipatif,
Gaya Bebas Kendali dan Gaya
Kontingensi.
a.
Gaya Kepemimpinan Autokratik
Gaya
kepemimpinan autokratik lebih memusatkan kekuasaan dalam pengambilan keputusan
pada diri sendiri. Mereka mempunyai wewenang dan tanggung jawab sepenuhnya
dalam menata situasi kerja yang rumit bagi para bawahannya. Gaya ini sering
memuaskan sang pemimpin, memungkinkan pengambilan keputusan dengan cepat,
memungkinkan pendayagunaan pegawai yang kurang kompeten dan menyediakan rasa
aman dan keteratutan bagi para bawahannya. Kelemahannya, Gaya ini tidak disukai
para bawahannya, terutama apabila mencapai sesuatu titik yang menimbulkan rasa
takut dan keputusasaan.
b. Gaya
Kepemimpinan Partisipatif.
Pemimpin
partisipatif, mendesentralisasikan wewenang yang dimilikinya. Keputusan yang
diambil tidak bersifat sepihak, karena timbul dari konsultasi dengan para bawahannya.
Para bawahan memperoleh informasi-informasi dari pemimpin tentang kondisi yang
mempengaruhi pekerjaan mereka dan didorong untuk mengungkapkan gagasan dan
saran.
c.
Gaya Kepemimpinan Bebas Kendali
Gaya
kepemimpinan Bebas Kendali, menghindari kuasa dan tanggung jawab. Pemimpin hanya
memainkan peran kecil dan mereka bergantung pada kelompok untuk menetapkan
tujuan dan memanggulangi masalah sendiri. Gaya kepemimpinan ini, memungkinkan
berbagai unit organisasi yang berbeda maju dengan tujuan yang bertentangan,
sehingga dapat menimbulkan kekacauan.
d.
Gaya Kepemimpinan Kontingensi
Gaya
kepemimpinan Kontingensi ini menyatakan bahwa semua gaya kepemimpinan, tidak
selamanya merupakan gaya yang terbaik. Gaya kepemimpinan mana yang paling sesuai,
bergantung pada situasi dan kondisi dimana pemimpin bekerja. Keefektifan
pemimpin ditentukan oleh interaksi antara orientasi pegawai dengan tiga variabel
tambahan yang berkaitan dengan pengikut, tugas dan organisasi, yaitu :
1. Hubungan antara yang memimpin
dan yang dipimpin, ditentukan oleh adanya
pengakuan pada pemimpin oleh yang
dipimpin.
2. Struktur tugas
3. Kekuasaan yang
dimiliki oleh pemimpin
2.5 FUNGSI DAN TIPE KEPEMIMPINAN
Dalam
upaya mewujudkan kepemimpinan yang efektif, maka kepemimpinan tersebut harus
dijalankan sesuai dengan fungsinya. Sehubungan dengan hal tersebut, menurut
Hadari Nawawi (1995:74), fungsi kepemimpinan berhubungn langsung dengan situasi
sosial dalam kehidupan kelompok masing-masing yang mengisyaratkan bahwa setiap
pemimpin berada didalam, bukan berada diluar situasi itu. Pemimpin harus
berusaha agar menjadi bagian didalam situasi sosial kelompok atau
organisasinya.
Fungsi
kepemimpinan menurut Hadari Nawawi memiliki dua dimensi yaitu:
1.
Dimensi yang berhubungan dengan tingkat kemampuan mengarahkan dalam tindakan
atau aktifitas pemimpin, yang terlihat pada tanggapan orang-orang yang
dipimpinya.
2.
Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan atau keterlibatan orang-orang
yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-tugas pokok kelompok atau organisasi,
yang dijabarkan dan dimanifestasikan melalui keputusan-keputusan dan kebijakan
pemimpin. Sehubungan dengan kedua dimensi tersebut, menurut Hadari Nawawi,
secara operasional dapat dibedakan lima fungsi pokok kepemimpinan, yaitu:
1.
Fungsi Instruktif.
Pemimpin berfungsi
sebagai komunikator yang menentukan apa (isi perintah), bagaimana (cara
mengerjakan perintah), bilamana (waktu memulai, melaksanakan dan melaporkan
hasilnya), dan dimana (tempat mengerjakan perintah) agar keputusan dapat
diwujudkan secara efektif. Sehingga fungsi orang yang dipimpin hanyalah
melaksanakan perintah.
2.
Fungsi konsultatif.
Pemimpin dapat
menggunakan fungsi konsultatif sebagai komunikasi dua arah. Hal tersebut
digunakan manakala pemimpin dalam usaha menetapkan keputusan yang memerlukan
bahan pertimbangan dan berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya.
3.
Fungsi Partisipasi.
Dalam menjalankan
fungsi partisipasi pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang dipimpinya,
baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam melaksanakannya. Setiap anggota
kelompok memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dlam melaksnakan
kegiatan yang dijabarkan dari tugas-tugas pokok, sesuai dengan posisi
masing-masing.
4.
Fungsi Delegasi
Dalam menjalankan
fungsi delegasi, pemimpin memberikan pelimpahan wewenang membuat atau
menetapkan keputusan. Fungsi delegasi sebenarnya adalah kepercayaan seorang
pemimpin kepada orang yang diberi kepercayaan untuk pelimpahan wewenang dengan
melaksanakannya secara bertanggungjawab. Fungsi pendelegasian ini, harus diwujudkan
karena kemajuan dan perkembangan kelompok tidak mungkin diwujudkan oleh seorang
pemimpin seorang diri.
5.
Fungsi Pengendalian.
Fungsi pengendalian
berasumsi bahwa kepemimpinan yang efektif harus mampu mengatur aktifitas
anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif, sehingga
memungkinkan tercapainya tujuana bersama secara maksimal. Dalam melaksanakan
fungsi pengendalian, pemimpin dapat mewujudkan melalui kegiatan bimbingan,
pengarahan, koordinasi, dan pengawasan.
2.6 KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI SOSIAL
Setiap
individu merupakan bagian dari kelompok, karena didalam kelompok tersebut ia
dipengaruhi oleh orang lain dan oleh lingkungannya, namun sekaligus ia juga
mempengaruhi orang lain dan lingkungan sekitarnya. Sehubungan dengan hal tersebut
kehadiran manusia lain merupakan hal yang mutlak diperlukan untuk melestarikan
hidupnya dan mengembangkan diri. Karena dalam suatu kelompok individu selalu
berkomunikasi dan saling memberikan pengaruhnya kepada individu lain ditengah
kelompoknya. Berdasarkan hal tersebut peran kepemimpinan merupakan suatu hal
yang penting dalam rangka mengembangkan kelompok.
Kelompok
menurut kartini Kartono (1994:98) adalah kumpulan yang terdirii dari dua atau
lebih individu, dan kehadiran masing-masing individu mempunyai arti serta
nilai, dan ada dalam situasi saling mempengaruhi. Berdasarkan penjelasan
tersebut, maka unsur esensial didalam kelompok adalah saling ketergantungan
denagn angota laiannya. Yaitu saling ketergantungan, dalam mana setiap individu
harus bekerja sama dengan orang lain, dan harus selalu mengingat keberadaan dan
kepentingan orang lain. Di dalam kelompok masing-masing anggota saling menjaga
kekompakan. Menurut Kartini Kartono, longgar atau kompaknya ketergantungan para
anggota kelompok ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah:
1. Besarnya anggota
kelompok.
2. Tujuan yang hendak
dicapai bersama.
3. Bentuk organisasi
yang telah dibangun.
4. Intimitas para
anggota satu terhadap yang lain.
Sehubungan dengan
keberadaan individu-individu dalam kelompok dimana saling mempengaruhi dan
saling mendorong dalam upaya mencapai tujuan. Maka menurut Kartini Kartono
(1994:99) ciri-ciri individu didalam kelompok antara lain:
1. Dinamis, selaalu
bergerak dan berubah, beraneka ragam gerakannya dan bebas.
2. Mempunyai potensi,
kesanggupan dan kemungkinan untuk melakukan bermacam-macam aksi atau perbuatan
dan peristiwa.
3. Menanggapi orang
lain sebagai maklhuk sejenis , sebagai sesama hidup, dan sebagai subyek yang
sederajat.
4. Interaksi dan
partisipasi masing-masing anggota kelompok sangat berkaitan dengan:
meningkatnya emosi dan sentimen-sentimen dalam mencapai pemuasan harapan,
berkaitan dengan semakin jelasnya norma-norma kelompok.
Fungsi kelompok bagi
individu:
1. Kelompok memberikan
wadah sosial dan ruang hidup psikologis kepada individu, sehingga memunculkan
rasa menjadi anggota dari satu kelompok, untuk berprestasi dan bekerjasama
dengan orang lain.
2. Menjadi kader
referensi untuk mengaitkan diri, sehingga muncul loyalitas, kesetiakawanan, dan
semangat kelompok.
3. Memberikan rasa
aman, sehingga orang merasa betah dan kerasan didalamnya.
4. Memberikan status
sosial kepada individu, sehingga dia merasa dihargai, diakui, diterima merasa
mendapat posisi sosial dan penghargaan dari lingkungannya.
5. Memberikan
ideal-ideal, cita-cita, tujuan-tujuan tertentu dan asas-asas perjuangan bagi
hidupnya.
6. Kelompok dijadikan
alat atau wahana untuk mencapai cita-cita hidupnya, dan untuk membangun
bersam-sama.
7. Didalam kelompok,
individu merasa menjadi satu bagian dari kelompok.
Oleh karena individu
dalam kelompok timbul suatu kekuatan saling pengaruh mempengaruhi diantara
sesama anggota dan pemimpin. Maka akan muncul dinamika kelompok dalam wujud
bermacam-macam usha dan tingkah laku. Untuk menggerakkan dinamika kelompok
tersebut dibutuhkan seseorang pemimpin yang berkualitas kemampuannya
dibandingkan anggota lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, Kartini Kartono
(1994:102) mengemukakan tujuh tugas kepemimpinan dalam kelompok sebagai
berikut:
1. Memelihara struktur
kelompok, menjamin interaksi yang lancar dan memudahkan pelaksanan tugas-tugas.
2. Mensinkronkan
idelogi, ide, pikiran dan ambisi anggota-anggota kelompok dengan pola keinginan
pemimpin.
3. Memberikan rasa aman
dan status yang jelas kepada setiap anggota, sehingga mereka bersedia
memberikan partisipasi penuh.
4. Memanfaatkan dan
mengoptimalkan kemampuan, bakat, dan produktifitas semua anggota kelompok untuk
berkarya dan berprestasi.
5. Menegakkan
peraturan, larangan, disiplin, dan norma-norma
kelompok agar yercapai
kepaduan atau kohesifenes kelompok, meminimalisisr konflik dan
perbedaan-perbedaan.
6. Merumuskan
nilai-nilai kelompok dan memilih tujuan-tujuan kelompok, sambil menentukan
sarana dan cara-cara operasional guna mencapainya.
7. Mampu memenuhi
harapan, keinginan dan kebuthan-kebutuhan para anggota, sehingga mereka puas.
Juga membantu adaptasi anggota terhadap tuntutan-tuntutan eksternal ditengah
masyarakat, dan memecahkan kesulitan-keulitan hidup anggota kelompok.
Berdasarkan uraian
tersebut, keberhasilan seorang pemimpin tidak hanya diukur dari keberhasilannya
dalam menggerakkan individu-individu untuk berbuat saja, tetapi terutama sekali
pada kemampuannya untuk menggerakkan kelompok sebagai totalitas. Sehingga
kelompok dapat berkembang dan mencapai tujuan bersama.
2.7 CONTOH AKTIVITAS SOSIAL DALAM MASYARAKAT BALI
Balaganjur adalah sebuah orkestra tradisional Bali
yang memiliki perangai keras, didominasi oleh alat-alat perkusi dalam bentuk
lepas. Ciri yang sangat menonjol untuk menentukan identitas. Balaganjur bahwa
umumnya dimainkan sambil berjalan kaki untuk mengiringi kegiatan-kegiatan tertentu
yang sifatnya prosesi. Balaganjur terbentuk dari berbagai jenis alat dengan
“warna” suara yang beraneka ragam. Kendati demikian, semua jenis alat tersebut
masih memiliki kesamaan dari cara memainkannya yaitu dengan cara dipukul
(Sugiartha, 1996:31).
Secara fisik Balaganjur didominasi oleh
instrumen-instrumen berpencon, bentuk instrumen-instrumen tersebut pada
dasarnya sama, hanya saja terdapat perbedaan ukuran besarkecil setiap bagian
instrumen. Alat-alat yang menjadi kesatuan barungan Balaganjur dapat dikelompokkan
menjadi kelompok instrumen pemegang melodi, kelompok instrumen pemberi ornamentasi,
kelompok instrumen pemurba irama dan kelompok instrumen pengatur matra. Kelompok
instrumen pemegang melodi, dimainkan oleh enam orang penabuh (pemain gamelan);
empat orang pemain reyong dan dua orang sebagai pemain ponggang.
Instrumen pemberi ornamentasi yaitu cengceng kopyak, pemainnya tidak tetap
antara enam sampai duabelas orang. Kelompok instrumen pemurba irama
yaitu dua buah kendang (lanang-wadon) dimainkan oleh dua orang.
Instrumen pengatur matra; meliputi dua buah gong (lanang-wadon) dimainkan
oleh seorang penabuh, sebuah tawa-tawa, sebuah kempli,
sebuah kempul dan sebuah bende yang masing-masing dimainkan oleh
seorang penabuh. Karena Balaganjur adalah musik prosesi, maka diperlukan
tenaga tambahan yang membantu membawakan gong empat orang, kempul satu orang
dan bende satu orang. Jadi secara keseluruhan penabuh yang diperlukan
untuk mendukung penyajian Balaganjur antara 25 sampai 35 orang.
Balaganjur merupakan salah satu wujud kesenian yang
hingga sekarang masih mencerminkan karya seni yang adiluhung, sehingga harus
dilestarikan keberadaannya. Namun demikian kedudukan Balaganjur akhir-akhir ini
telah menghadapi masalah yang dapat dikatakan dilematis, meskipun tidak secara
keseluruhan meng-anggap demikian. Pada satu pihak merisaukan bahwa Balaganjur
tengah terancam nilai-nilai keasliannya, disisi lain justru keberadan
Balaganjur semakin kokoh, kendatipun ditengah-tengah gelombang modernisasi yang
begitu pesat.
Kesenian seperti Balaganjur adalah salah satu unsur
kebudayaan memiliki wujud dan peran yang sangat menonjol dalam mengisi tujuan,
yang berorientasi kepada pelestarian nilai-nilai budaya. Sebagai bagian dari
kebudayaan kesenian merupakan simbol dari masyarakat dan mengandung nilai-nilai
yang hidup di dalam masyarakat. Tema-tema yang diangkat sebagai isi dari
kesenian itu pada dasarnya bersumber dari kehidupan masyarakat. Hakekat hidup
orang Bali yang berpedoman pada hukum karma phala, sikap hidup yang berorientasi
pada dualisme; baik dan buruk, sangat berpengaruh terhadap kesenian Bali
(Bandem,1996:33). Tema-tema kesenian Bali sebagian besar berangkat dari
dualisme tersebut sehingga muncul norma dan etika yang kuat serta mengandung
makna tertentu bagi setiap pertunjukan kesenian. Makna penyajian seperti
Balaganjur sangat bergantung pada fungsinya. KetikaBalaganjur berfungsi
melengkapi pelaksanaan ritual keagamaan Balaganjur memiliki makna religius dan
ketika Balaganjur mengalami sekularisasi yang berorientasi seni presentasi
estetis, Balaganjur mengalami perkembangan makna yang mengarah kepada makna
profan.
Makna Solidaritas dalam balaganjur
Sebagai media berkesenian ternyata Balaganjur dapat mengukuhkan nilai-nilai
solidaritas dari masyarakat pendukungnya. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dan agama maka
dibentuklah organisasi-organisasi yang bergerak dibidang seni yang
mengelola suatu barungan gamelan yang disebut sekaa. Sekaa merupakan
unit organisasi terkecil di masyarakat yang anggota-anggotanya berasal dari
sebagian anggota tingkat banjar, tingkat desa atau berasal dari kelompok
masyarakat yang lebih luas. Adanya rasa kebersamaan yang dialami oleh sekaa tersebut,
secara implisit tercermin pada tatanan orkestrasi di dalam gamelan itu sendiri.
Dalam barungan Balaganjur terdapat berjenisjenis alat dengan bentuk serta
fungsinya masing-masing yang saling ketergantungan. Hubungan yang spesifik ini
mengandung makna solidaritas, dan dalam lingkup yang lebih luas menyimpan nilai-nilai
kehidupan untuk melahirkan rasa kebersamaan, keterbukaan, kemandirian, kepemimpinan
dan rasa pengabdian.
1) Rasa kebersamaan
Dalam bermain Balaganjur perlu menumbuhkan sikap yang luwes, yang secara
tidak langsung dapat mendidik masyarakat untuk melahirkan rasa komunitas yang
tinggi. Gendinggending yang dipelajari bersama, kekurangan serta kelebihannya
diselesaikan secara musyawarah. Seorang penabuh Balaganjur dituntut
ke-trampilannya dan mampu mengadakan koordinasi dengan penabuh yang lain.
Lebih-lebih dalam gamelan Bali belum adanya partitur seperti dalam musik Barat.
Dalam proses ini diperlukan pemahaman terhadap rasa kebersamaan untuk
tercapainya penyajian yang sempurna.
2) Keterbukaan
Dalam belajar memainkan gamelan Balaganjur para penabuh memiliki sifat
keterbukaan
untuk saling menerima dan saling memberikan. Belajar gamelan secara
imitasi, meniru satu sama lain adalah membuka pikiran para penabuh untuk
menghayati fungsi dan tanggung jawabnya yang masing-masing berbeda, tanpa perlu
menumbuhkan perasaan superiority dan inperiority.
3) Kemandirian
Para penabuh yang sudah menguasai gending diharapkan mampu menumbuhkan rasa
percaya diri tidak tergantung atau dapat dipengaruhi oleh orang lain. Karena
kemampuan seorang penabuh akan berpengaruh besar terhadap penyajian sebuah
gending. Penabuh diharapkan mempunyai sikap mandiri yang diatur oleh
prinsip-prinsip orkestrasi dan komposisi.
4) Kepemimpinan
Kepemimpinan dalam bermain Balaganjur, tidak semata-mata didasarkan atas
kemampuan individu tetapi atas dasar peranan dan fungsi masing-masing. Seorang
pemain “pemegang melodi” bertanggung jawab terhadap jalannya melodi gending,
serta seorang pemain “pemberi ornamentasi” bertanggung jawab terhadap permainan
ornamentasi gending. Sedangkan dalam penyajian se-buah gending dipimpin oleh
kelompok instrumen pemurba irama yaitu seorang pemain kendang yang
selalu memperhatikan dan tidak terlepas dengan permainan mat sebagai tanggung
jawab pemain tawa-tawa dalam kelompok instrumen “pengatur matra”.
5) Rasa Pengabdian
Terwujudnya gending Balaganjur sebagai sebuah ungkapan karya seni harus
dipersembahkan, baik untuk kepentingan upacara keagamaan ataupun untuk
kepentingan sosial lainnya. Dengan dedikasi yang tinggi, Balaganjur
dipertunjukkan sebagai rasa pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Para
penabuh me-nyerahkan diri secara tulus demi suatu kepercayaan yang mereka
yakini. Selain untuk mengekspresikan naluri berkesenian, penyajian Balaganjur
oleh para penabuh atau pendukungnya, pada intinya merupakan wujud rasa pengabdian
bagi kehidupan
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Jadi dari penjelasan diatas, aktivitas sosial
berhubunan dengan pengorganisasian dalam komunitas dan kepemimpinan. Dari
pengorganisasian dan kepemimpinan bisa muncul / diadakanya aktivitas sosial
dalam mayarakat. Karena dalam aktivitas masyarakat mesti terdapat seorang
pemimpin atau organisasi yang mengawali dan memimpin kegiatan tersebut. Dimana
yang dimaksud dengan Pengorganisasian komunitas adalah
pengembangan komunitas yang menekankan pada pembangunan kesadaran kritis
anggotanya dan penggalian potensi komunitas sehingga dapat muncul suatu
organisasi yang mampu menjangkau seluruh lapisan komunitas. Sedangkan kepemimpinan
adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agar mereka mau bekerja sama untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Syani, 1987. Sosiologi, Kelompok dan Masalah
Sosial. Penerbit: Fajar Agung, Jakarta.
___________, 1994. Sosiologi, Skematika Teori dan
Terapan. Penerbit: PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Abu Ahmadi, 1985. Sosiologi. Penerbit: PT. Bina Ilmu,
Surabaya.
Athur Hilman, 1951. Community Organization and
Planning. The Mac Millan Company, New York.
David Berry, 1981. Pokok-pokok Pikiran dalam
Sosiologi, disunting dan dihantar oleh: Paulus Wirutomo, CV. Rajawali, Jakarta.
Hassan Shadily, 1983. Sosiologi untuk Masyarakat
Indonesia. Penerbit: PT. Bina Aksara, Jakarta.
Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan, PT. Gramedia, Jakarta.
Maurice Duverger, 1982. Sosiologi Politik, Terjemahan:
Daniel Dhakidae, CV. Rajawali, Jakarta.
Soedjono Dirdjosisworo, 1985. Asas-asas Sosiologi.
Penerbit: Armico, Bandung.
Soerjono Soekanto, 1982. Sosiologi Suatu Pengantar,
CV. Rajawali, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1983. Pribadi dan Masyarakat.
Penerbit: Alumni, Bandung.
Soleman B. Taneko, 1984. Struktur dan Proses Sosial
Suatu Pengantar Sosiologi
Pembangunan, CV. Rajawali, Jakarta. W.J.S.
Poerwadarminta, 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Penerbit: Balai Pustaka,
jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar